Jumat, 07 Oktober 2011
Fenomena M. Basir di Dunia Pendidikan Pesisir Selatan
Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP
Apa sih, yang menarik dari sosok M. Basir, S. Pd sehingga harus muncul di blog ini? Taka ada yang menarik atau menonjok dari pria yang kini resmi menyandang gelar “mantan Kepala” SMPN 3 Basa Ampek Balai. Semuanya biasa-biasa saja. Yang menarik adalah “nasib” karirnya yang mencengangkan. Betapa tidak! Ia adalah orang paling terakhir dilantik sebagai Kepala Sekolah, dan ia pula yang tercepat diberhentikan dibandingkan teman sejawatnya yang seangkatan. Mengingat masa jabatannya baru berjalan 3 tahun, sementara yang lainnya ada yang mencapai 2 periode (8 tahun). Tidaklah berlebihan, bila M. Basir dikatakan “dipecat.”
Lalu pertanyaannya, “apa salahnya…, apa dosanya” (ingat syair lagu Wali) sehingga ia bernasib demikian? Baperjakat tentu lebih tahu, (boleh jadi) mereka punya fakta dan data yang lengkap sebagai alasan. Tapi kita boleh punya penilaian sendiri, betapapun tak ada artinya untuk kebijakan pengangkatan Kepala Sekolah.
M. Basir diangkat sebagai Kepala SMPN 3 Basa Ampek Balai, dalam kondisi sarana dan prasarana sekolah tersebut “nol besar,” tanpa murid, tanpa mobile, termasuk tenaga pengajar (guru), kecuali 3 RKB yang masih sepeti kotak kosong belaka. Inilah tantangan besar yang mesti dihadapi pria kelahiran Baso, Agam ini. Ia harus mencari sendiri tenaga pengajar honorer karena memang belum disediakan pemerintah, bahkan ia bersama tokoh masyarakat harus “mengemis” meminta bangku dan meja bekas ke SD yang ada di Kec. Basa Ampek Balai. Ia harus meyakinkan calon siswa beserta masyarakat untuk mau mendaftar di sekolahnya. Dengan tangannya sendiri, ia “mencuci” gudang bangku dan meja bekas SD. Ini hanya sedikit dari “perjuangan” Pak Guru berkulit sawo matang ini. Berkat kerja kerasnya, dengan dukungan pemerintah dan masyarakat setempat ia berhasil menelorkan alumni perdana SMPN 3 Basa Ampek Balai pada TP. 2010/2011.
Penulis percaya, pejabat berkompeten tahu hal ini. Namun rupanya, “buah tangan”nya tersebut tak mampu “menyelamatkannya dari “badai” mutasi. Tak ada angin, tak ada hujan, tanpa “ba-bi-bu” tahu-tahu ia dipecat, sebelum masa jabatannya habis. Sementara konon, ada banyak Kepala Sekolah yang “bermasalah” justru “aman” di kursi empuknya bahkan mendapatkan “kursi” yang lebih empuk lagi. Inilah menariknya sosok kandidat Magister Pendidikan ini. Nasib karirnya yang tragis. Jika acara top Metro TV ada “From zero to hero” maka di pentas pendidikan Pesisir Selatan ada pertunjukan “From hero to zero.” Sebuah phenomena aneh bin lucu di dunia pendidikan Pesisir Selatan.
Di mata sementara kalangan, ini boleh jadi kasus kelihatan kecil. Apalah artinya seorang M. Basir di tengah-tengah kebesaran dunia pendidikan Pesisir Selatan. Tetapi, dari sisi mekanisme sebuah sistem pendidikan, ini adalah “contoh buruk” yang berakibat jelek bagi upaya kemajuan pendidikan. Ini menimbulkan kesan, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian pimpinan sekolah tidak memiliki mekanisme dan kriteria yang benar dan jelas. Sulit untuk dihindari adanya kesan intervensi politik memiliki peranan penting, termasuk dalam dunia pendidikan.
Apabila dunia pendidikan sudah terlalu jauh dirasuki kepentingan politik, apalagi ditambah isu kepentingan yang berbau duit , adalah suatu mimpi akselerasi peningkatan kualitas pendidikan di Pesisir akan akan terwujud jadi kenyataan. Kini semua terpulang kepada kemauan politik (political will) Pemerintah dan pihak yang berkompeten di bidang pendidikan di Pesisir Selatan, jalan mana yang harus ditempuh. Sebagai anggota masyarakat biasa yang peduli dan terlibat langsung dalam dunia pendidikan, hanya bisa sekedar berharap, kalau malu disebut mengeluh.
Dan tulisan ini tak punya pretensi apa-apa, dan penulis sangat haqqul yakin takkan ada pengaruh sekecil apapun tulisan ini terhadap kebijakan. Ini, tak lebih dari sekedar kegalauan hati, sekaligus kekhawatiran khas yang lahir dari nurani seorang pendidik. Selebihnya, Wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)