Wellcome in my blog : Thank's for visiting

Jumat, 07 Oktober 2011

Fenomena M. Basir di Dunia Pendidikan Pesisir Selatan

Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP Apa sih, yang menarik dari sosok M. Basir, S. Pd sehingga harus muncul di blog ini? Taka ada yang menarik atau menonjok dari pria yang kini resmi menyandang gelar “mantan Kepala” SMPN 3 Basa Ampek Balai. Semuanya biasa-biasa saja. Yang menarik adalah “nasib” karirnya yang mencengangkan. Betapa tidak! Ia adalah orang paling terakhir dilantik sebagai Kepala Sekolah, dan ia pula yang tercepat diberhentikan dibandingkan teman sejawatnya yang seangkatan. Mengingat masa jabatannya baru berjalan 3 tahun, sementara yang lainnya ada yang mencapai 2 periode (8 tahun). Tidaklah berlebihan, bila M. Basir dikatakan “dipecat.” Lalu pertanyaannya, “apa salahnya…, apa dosanya” (ingat syair lagu Wali) sehingga ia bernasib demikian? Baperjakat tentu lebih tahu, (boleh jadi) mereka punya fakta dan data yang lengkap sebagai alasan. Tapi kita boleh punya penilaian sendiri, betapapun tak ada artinya untuk kebijakan pengangkatan Kepala Sekolah. M. Basir diangkat sebagai Kepala SMPN 3 Basa Ampek Balai, dalam kondisi sarana dan prasarana sekolah tersebut “nol besar,” tanpa murid, tanpa mobile, termasuk tenaga pengajar (guru), kecuali 3 RKB yang masih sepeti kotak kosong belaka. Inilah tantangan besar yang mesti dihadapi pria kelahiran Baso, Agam ini. Ia harus mencari sendiri tenaga pengajar honorer karena memang belum disediakan pemerintah, bahkan ia bersama tokoh masyarakat harus “mengemis” meminta bangku dan meja bekas ke SD yang ada di Kec. Basa Ampek Balai. Ia harus meyakinkan calon siswa beserta masyarakat untuk mau mendaftar di sekolahnya. Dengan tangannya sendiri, ia “mencuci” gudang bangku dan meja bekas SD. Ini hanya sedikit dari “perjuangan” Pak Guru berkulit sawo matang ini. Berkat kerja kerasnya, dengan dukungan pemerintah dan masyarakat setempat ia berhasil menelorkan alumni perdana SMPN 3 Basa Ampek Balai pada TP. 2010/2011. Penulis percaya, pejabat berkompeten tahu hal ini. Namun rupanya, “buah tangan”nya tersebut tak mampu “menyelamatkannya dari “badai” mutasi. Tak ada angin, tak ada hujan, tanpa “ba-bi-bu” tahu-tahu ia dipecat, sebelum masa jabatannya habis. Sementara konon, ada banyak Kepala Sekolah yang “bermasalah” justru “aman” di kursi empuknya bahkan mendapatkan “kursi” yang lebih empuk lagi. Inilah menariknya sosok kandidat Magister Pendidikan ini. Nasib karirnya yang tragis. Jika acara top Metro TV ada “From zero to hero” maka di pentas pendidikan Pesisir Selatan ada pertunjukan “From hero to zero.” Sebuah phenomena aneh bin lucu di dunia pendidikan Pesisir Selatan. Di mata sementara kalangan, ini boleh jadi kasus kelihatan kecil. Apalah artinya seorang M. Basir di tengah-tengah kebesaran dunia pendidikan Pesisir Selatan. Tetapi, dari sisi mekanisme sebuah sistem pendidikan, ini adalah “contoh buruk” yang berakibat jelek bagi upaya kemajuan pendidikan. Ini menimbulkan kesan, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian pimpinan sekolah tidak memiliki mekanisme dan kriteria yang benar dan jelas. Sulit untuk dihindari adanya kesan intervensi politik memiliki peranan penting, termasuk dalam dunia pendidikan. Apabila dunia pendidikan sudah terlalu jauh dirasuki kepentingan politik, apalagi ditambah isu kepentingan yang berbau duit , adalah suatu mimpi akselerasi peningkatan kualitas pendidikan di Pesisir akan akan terwujud jadi kenyataan. Kini semua terpulang kepada kemauan politik (political will) Pemerintah dan pihak yang berkompeten di bidang pendidikan di Pesisir Selatan, jalan mana yang harus ditempuh. Sebagai anggota masyarakat biasa yang peduli dan terlibat langsung dalam dunia pendidikan, hanya bisa sekedar berharap, kalau malu disebut mengeluh. Dan tulisan ini tak punya pretensi apa-apa, dan penulis sangat haqqul yakin takkan ada pengaruh sekecil apapun tulisan ini terhadap kebijakan. Ini, tak lebih dari sekedar kegalauan hati, sekaligus kekhawatiran khas yang lahir dari nurani seorang pendidik. Selebihnya, Wallahu a’lam.

Minggu, 24 Juli 2011

Tradisi Mandi Balimau : Antara Masyarakat Kerinci dan Pesisir Selatan

Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP
Berbeda daerah tempat tinggal tidak selalu harus berarti berbeda tradisi atau budaya. Ada tradisi atau unsur-unsur tertentu dari budaya, yang mirip atau bahkan mungkin sama sekali tak berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini sangat dimungkinkan, karana adanya proses akulturasi budaya atau mungkin juga dikarenakan adanya persamaan perjalanan sejarah perkembangan masyarakat pendukung budaya kedua daerah tersebut. Kecuali itu, daerah-daerah yang berada di daerah perbatasan, karena kedekatan geografisnya, sangat memungkinkan terjadinya proses akulturasi budaya. Dalam konteks zaman sekarang, dukungan perkembangan ilmu dan teknologi (iptek) utamanya bidang transportasi, informasi dan komunikasi sangat mendorong terjadinya proses akulturasi budaya ini. Masyarakat tidak lagi seperti “katak di bawah tempurung,” tetapi sudah sangat melek budaya. Interaksi social, komunikasi dan tukar-menukar informasi dapat dilakukan dalam hitungan detik tanpa hambatan yang berarti dari sudut ruang dan waktu.
Tradisi Mandi Balimau yang terdapat dalam masyarakat Kerinci dan Pesisir Selatan dalam menyongsong bulan Ramadhan adalah contoh nyata uraian di atas. Daerahnya yang berada di perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Barat, menjadikan masyarakat kedua daerah ini sudah menjalin interaksi sodial sejak waktu lama. Kecuali itu, Persamaan historis dimana kedua daarah ini pernah bersama dalam naungan administrasi pemerintahan yang sama, kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (PSK) dalam kurun waktu 50-an, cukup kuat membangun keterikatan emosional masyarakat kedua daerah ini. Faktor-faktor inilah yang mendukung terbentuk tradisi ataupun budaya yang sama, seperti halnya tradisi mandi balimau.

Barangkali inilah salah satu pertimbangan, mengapa sewaktu masih dipimpin Bupati Fauzi Siin, secara resmi Pemkab Kerinci bersama Pemkab Pesisir Selatan setiap tahunnya, menjelang bulan Ramadhan, secara seremonial, melakukan acara mandi balimau bersama, di Muara Sakai, kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatan. Muara Sakai merupakan pusat pemerintahan kerajaan Inderapura tempo dulu. Sayangnya, acara yang menjadi media silaturrahim kedua daerah ini tidak dilanjutkan Murasman, Bupati Kerinci saat ini.
Tradisi Mandi Balimau, berkaitan erat dengan kedatangan bulan Suci Ramadhan. Ini berarti juga ada kaitannya dengan Islam. Islam lahir dan hadir di tengah-tengah masyarakat bukan dalam kondisi umat yang hampa budaya. Kedatangannya meberikan pencerahan bagi budaya itu sendiri. Budaya yang mungkin berbau “syirik,” yang bertentangan dengan nilai-nilai aqidah Islam “diluruskan “ sehingga bersih dari niali-nilai yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Nilai-nilai Islam juga menginspirasi lahirnya kebiasaan, tradisi dan budaya baru, yang sejalan dengan nilai Islam. Islam yang datang dengan pendekatan persuasive, menyebabkan tumbuh-suburnya budaya Islami, meskipun mungkin secara eksplisit tidak diatur dalam ajaran atau syariat Islam (Alquran dan Hadits). Budaya Islami, betapapun kadang-kadang dipandang bid’ah oleh sebagian ulama, namun bagi kaum muslimin, ini jauh berarti ketimbang budaya sekularis.

Namun dalam pelaksanaannya, ada kerisauan dari kalangan sebagian ulama, kalau-kalau ritual ini diselewengkan menjadi seremonial yang rawan perbuatan maksiat. Agaknya, ini merupakan catatan penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat (umat Islam), utamanya di kalangan muda. Dalam konteks tradisi atau budaya Mandi Balimau ini, yang perlu dilakukan adalah menjaga agar ritual balimau dilakukan dengan memperhatikan sungguh-sungguh nilai ajaran Islam. Sebutlah misalnya : Tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan (tempat perempuan jauh dari kemungkinan intipan laki-laki dan sebaliknya); menutup aurat; tidak dijadikan ajang pacaran dll. Hal ini penting, agar perbuatan (kebiasaan) yang dilakukan dengan niat baik (suci) justru ternoda oleh cara melakukannya yang tidak baik (bertentangan dengan ajaran Islam).
Budaya Mandi Balimau, dapat dijumpai dalam tradisi masyarakat Minangkabau, Riau dan Kerinci, yang dilakukan sehari menjelang masuknya bulan Ramadhan. Balimau merupakan ritual masyarakat yang dimaksudkan sebagai lambang penyucian diri, yang diawali dengan pembersihan fisik dengan mandi balimau, yang disempurnakan dengan pembersihan bathin (jiwa), dengan puasa Ramadhan. Balimau dilakukan masyarakat dengan menggunakan kasai, yang terbuat dari tepung beras ketan yang dicampur dengan jeruk nipis, daun pandan yang diaduk dengan air lalu disiram ke tubuh ketika mandi. Ritual ini biasanya, dilakukan bersama-sama di tempat pemandian umum (dulu di sungai, dalam arti tepian khusus untuk laki-laki atau perempuan) atau boleh juga dilakukan di rumah.

Karena memang sudah menjadi budaya, “kurang pas” rasanya kalau menyambut bulan suci Ramadhan tanpa mandi balimau, meskipun hukumnya bukan “wajib” bagi seorang muslim. Dan tradisi balimau yang dilakukan bersama-sama ini dapat disebut sebagai ungkapan rasa gembira dan syukur karena dapat berjumpa kembali dengan bulan yang penuh rahmah (rahmat), maghfirah (ampunan) dan itqun minannar (terhindar dari api neraka) ini.
Tradisi balimau ini sangat popular dikalangan anak muda. Ada tempat tertentu yang dipandang “bagus” untuk melaksanakan ritual budaya ini. Di Tapan, Pesisir Selatan, umumnya anak muda lebih senang malakukannya di sungai Muara Sako. Tempat ini memang sudah menjadi salah tempat wisata bagi turis-turis local di Pesisir Selatan. Kecuali itu, di Muara Sako juga terdapat tempat wisata kuliner. Selain makanan khas Minang lainnya, juga terdapat dendeng batokok dan empek-empek yang jarang ada di tempat lain.

Selasa, 12 Juli 2011

Hikmah Ibadah Puasa Ramadhan

Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP


“Marhaban Ya Ramadhan,” inilah kata yang pantas terucap dari mulut insan muslim, sebagai ungkapan rasa syukurnya atas nikmat umur panjang yang diberikan Allah Swt sehingga dapat bertemu lagi dengan bulan suci tahun ini. Di bulan ini, kaum muslim yang merasa beriman, terpanggil untuk melaksanakan ibadah puasa yang diwajibkan kepadanya sebagai mana firman Allah dalam Qs. Albaqarah (2 :183-185) : “Hai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa.” QS (2:183). Puasa (shaum) menurut istilah berarti “menahan.” Segala aktivitas yang bersifat menahan bisa disebut puasa. Misalnya, seorang gadis yang menahan makan (diet) untuk membuat bentuk tubuhnya langsing dapat disebut puasa menurut istilah, tetapi tidak bisa disebut puasa menurut syariah. Jadi benar bila orang berkata : saya sedang puasa merokok, puasa ngopi dll. Puasa seperti ini, meskipun benar menurut istilah tapi jelas tidak bernilai ibadah.

Puasa yang bernilai ibadah adalah puasa yang dilaksanakan menurut syariah (hukum ibadah puasa itu sendiri), yaitu menahan diri dari segala sesuatu, yang menurut syariah, dapat membatalkan puasa mulai dari waktu Imsa’ hingga sesaat waktu berbuka (Maghrib). Dan puasa ini hendaklah dimulai dengan niat ikhlas karena Allah Swt. Ada memang rukhsah (keringanan) bagi orang-orang yang tak kuasa menjalankannya. Yang berhalangan tetap, sakit menahun misalnya, diperkenankan membayar fidyah(denda) yaitu memberi makan seorang miskin. Bagi yang sakit (bisa sembuh) dan dalam perjalanan dibolehkan mengkadha(mengganti) di hari-hari yang lain. Namun begitu, “…….bahwa puasa itulah yang lebih baik bagi kamu”(QS 2 :184). Artinya, meskipun sakit, ataupun dalam perjalanan, seandainya kita bisa berpuasa sebaiknya kita berpuasa ketimbang mengqadhakannya di hari yang lain, meskipun ini dibolehkan syara’.

Menurut Imam Al Ghazali ada 3 tingkatan orang yang berpuasa yaitu : Puasa Awam, puasa khusus, puasa khusus bil khusus. Puasa Awam dilakukan oleh orang yang hanya berpuasa secara fisik belaka, menahan lapar dan haus. Tapi, jiwanya tidak berpuasa. Artinya, sifat-sifat yang kurang baik dalam dirinya tidak dikendalikannya, perbuatan yang tak elok masih dilakukannya. Inilah puasa kebanyakan orang. Puasa khusus adalah seperti puasa yang dilakukan oleh para sabat dan tabi’in. Mereka benar-benar sempurna melaksanakan ibadah puasa. Lahir bathin mereka benar-benar tekendali, terhindar dari apa yang disebut dengan kesalahan, kealpaan apalagi dosa. Puasa khusus bil khusus adalah puasa para rasul dan para nabi.

Puasa tidak hanya mengandung hikmah bagi pembentukan kepribadian umat sehingga menjadi kepribadian orang yang bertaqwa, tetapi juga besar manfaatnya bagi kesehatan. “Puasalah kamu agar kamu sehat,” begitu pesan Nabi Muhammad Saw.(Alhadits). Benar! Betapa banyak penyakit yang bersumber dari makanan, apalagi kalau disantap secara berlebihan. “Makanlah kamu sekedar menyangga tulang punggungmu,” kata Rasul. Artinya, makan tidak dimaksudkan untuk berpuas-puasan, atau untuk melepas selera, tetapi cukup untuk menopang energimu sehingga mampu untuk bekerja. Perut kita mesti dibagi tiga bagian : sepertiganya untuk makan, sepertiganya untuk minuman (air)dan sepertiganya lagi sisakan buat udara. Bukankah makan berlebihan itu bisa menimbulkan rasa kantuk?

Hikmah lain yang dapat kita raih di bulan Ramadhan adalah rahmah pada sepuluh malam pertama dan maghfirah (ampunan) pada sepuluh malam kedua serta itqun minannar (terhindar dari azab api neraka) sepuluh malam terakhir bulan suci ini. Masih terlalu banyak hikmahnya yang lain lagi, takkan cukup halaman ini kalau diuraikan seluruhnya hikmah bulan Ramadhan ini.

Nah, yang perlu kita lakukan adalah berupaya sejauh kemampuan kita untuk mencapai tingkat sesempuna mungkin yang dapat kita lakukan. Selebihnya kita berserah diri kepada Allah Swt untuk menilainya. Soal “buah"nya ibadah puasa ini sudah jelas. “Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa.”(QS. 2:185) Predikat “Taqwa” merupakan tingkat tertinggi di sisi Allah Swt. “Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa diantara kamu.” (QS ). Selain itu, Rasulullah menjanjikan penghapusan dosa-dosa yang telah lampau bagi orang yang benar-benar menjalankan Ibadah puasa. Untuk fisik juga ada : Puasalah kamu agar sehat (Al hadits). Ini sudah terbukti menurut kesehatan, lho! Selamat menjalankan ibadah puasa!

Senin, 04 Juli 2011

Kabupaten "Renah Indojati" Mungkinkah akan terwujud Dalam Waktu Dekat?

Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP

Adanya keinginan kuat sebagian masyarakat kabupaten Pesisir Selatan untuk memekarkan daerah ini menjadi beberapa kabupaten memang cukup realistik. Wilayahnya yang luas, perkembangan masyarakatnya yang cukup tinggi, dan tipologi wilayah ini yang memanjang dari utara keselatan merupakan alasan yang cukup kuat untuk pemekaran. Dan alasan ini pulalah yang menjadi dasar kuatnya keinginan masyarakat, utamanya di bagian selatan, untuk menjadikan wilayah eks kecamatan Pancung Soal menjadi kabupaten baru. Presidium Pemekaran sudah lama terbentuk, bahkan warga wilayah ini sudah menyiapkan sebuah nama calon kabupaten baru : “Renah Indojati.”

Kuatnya keinginan warga bagian selatan ini, lebih-lebih dalam satu dasa warsa terakhir, dapat dilihat dari maraknya wacana ini di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya terbatas di kalangan elit politik belaka melainkan juga sudah merambah ke kalangan masyarakat bawah sehingga menjadi bahan obrolan lepas di lepau-lepau. Masyarakat percaya bahkan ada yang “haqqul yakin” pemekaran ini akan tembus dalam waktu dekat ini, menjelang tahun 2014. Mungkinkah?


Agar wacana ini tidak simpang siur, melebar liar kemana-mana, lebih-lebih lagi agar tidak hanya sekedar penghibur diri, atau sekedar harapan hampa bagi masyarakat, mari kita tengok beberapa realita yang ada saat ini. Ini perlu dilakukan agar tidak hanya menjadi impian kosong atau bahkan ilusi belaka. Mari kita coba “mangaji di ateh kitab,” dengan melihat berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebab, pemekaran daerah itu sendiri ditetapkan dengan undang-undang.

Dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa pembentukan daerah, termasuk pemekaran ditetapkan dengan undang-undang (pasal 4 ayat 1). Dalam undang-undang ini, juga diatur tentang syarat-syarat pembentukan daerah yang meliputi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah. Lebih lanjut tata cara pembentukan wilayah diatur secara rinci dalam PP No. 78 tahun 2007, sebagai pengganti PP No. 129 tahun 2000, tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dibandingkan dengan PP No. 129 tahun 2000, tampaknya persyaratan pembentukan daerah menurut PP No. 78 tahun 2007, baik pemekaran maupun penggabungan daerah, diatur lebih ketat. Misalnya, dalam PP 129 tahun 2000 pembentukan/pemekaran kabupaten paling sedikit 4 kecamatan dan batas minimal penyelenggaraan pemerintahan 5 tahun, sedangkan menurut PP. No. 78 tahun 2007 pembentukan kabupaten paling sedikit 5 kecamatan dan minimal masa penyelenggaraan pemerintahan 7 tahun.

Menurut PP No. 78 tahun 2007, Pembentukan daerah (pemekaran atau penggabungan daerah) dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat administratif, teknis dan fisik wilayah sbb : a. Syarat administrasi meliputi : 1. Keputusan DPRD Kab/Kota induk tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/kota; 2. Keputusan Bupati/Walikota tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota; 3. Keputusan DPRD Propinsi tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota; 4. Keputusan Gubernur tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota; dan 5. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri. (Pasal 4 ayat 2 point 2) b. Syarat teknis mencakup kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya dan politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan kemanan serta faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.(Pasal 6 ayat 1) c. Syarat fisik terdiri dari : Paling sedikit 5 kecamatan untuk kabupaten dan 4 kecamatan untuk Kota, calon ibu kota, sarana dan prasarana pemerintahan.(Pasal 7)


Selain dari syarat-syarat yang ditentukan seperti di atas juga ada prosedur dan tata cara yang harus ditempuh dalam proses pembentukan daerah kabupaten/kota. Mencermati PP No. 78 tahun 2007, BAB III pasal 16, tata cara pembentukan (pemekaran atau penggabungan) daerah memiliki prosedur yang cukup panjang. Mulai dari pengajuan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan Badan Perwakilan Desa/BPD (Keputusan Bamus Nagari di Sumatera Barat), Keputusan Forum Komunikasi Kelurahan (Nagari) sebagai bahan untuk meminta persetujuan Bupati dan DPRD yang dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati dan Keputusan DPRD. Kemudian dilanjutkan ke Provinsi (Gubernur dan DPRD Propinsi). Lebih lanjut diteruskan ke tingkat Menteri, kemudian meminta Persetujuan Presiden untuk diajukan sebagai Rancangan Undang-undang hingga kemmudian dibahas DPR bersama pemerintah untuk ditetapkan menjadi undang-undang.

Begitulah proses dan prosedur panjang yang harus ditempuh dalam memperjuangkan suatu daerah menjadi kabupaten baru. Tidak saja butuh waktu yang panjang melainkan juga butuh biaya yang tinggi serta energi yang ekstrakuat. Persyaratan politik tidak bisa datang dengan sendirinya, perlu perjuangan melalui pressure(tekanan) dan lobbi politik.


Dari uraian di atas, mari kita coba melihat realita eks Pancung Soal saat ini, dengan mengukur sejauh mana perjalanan proses pembentukan kabupaten “Renah Indojati” ini dengan indikator pencapaian pemenuhan syarat dan prosedur seperti yang diuraikan di atas.

Dari sisi persyaratan teknis barangkali tidak ada persolan serius. Namun dari sisi syarat administasi belum ada kejelasan sejauh mana perjuangan masyarakat yang diwakili Presidium Pemekaran kabupaten Pesisir Selatan. Persyaratan ini tentu membutuhkan perjuangan keras masyarakat dan kemauan politik (political will) pemerintah kabupaten (Bupati dan DPRD Kab. Pesisir Selatan).

Untuk persyaratan wilayah masih ada persoalan mendasar yang belum tuntas. Persayaratan 5 kecamatan, bila hanya menghandalkan wilayah eks Pancung soal jelas belum terpenuhi karena baru ada 3 kecamatan (Pancung Soal, Basa Ampek Balai, dan Lunang Silaut). Proses untuk menjadi 5 kecamatan jelas akan menempuh jalan dan waktu yang relatif cukup panjang. Pemekaran Nagari menjadi minimal 20 nagari untuk masing-masing kecamatan saja masih mendapatkan kendala yang cukup berat. Belum lagi jika harus memenuhi jangka watu minimal penyelenggraan pemerintahan minimal 7 tahun. Bayangkan jika langgkah ini yang harus ditempuh, paling tidak kita harus bersabar 10 hingga 15 tahun lagi.

Bagai mana dengan “merger” (gabung) dengan kecamatan di luar eks Pancung Soal? Inilah masalahnya. Masih terdapat pro-kontra yang cukup tajam di kalangan tokoh masyarakat. Meminjam istilah salah satu tokoh masyarakat eks Pancung Soal, Dt. Bustami Malin Palto (Alm), terdapat kelompok “Hamas” (kelompok “panatik” eks Pancung Soal) dan kelompok “Fattah” (yang akomodatif/kooperatif terhadap kecamatan di luar eks Pancung Soal). Perlu adanya upaya mencarikan titik temu dua paradigma yang bertolak belakang ini.

Jadi masih ada persoalan yang cukup serius yang harus “dibereskan” oleh tokoh masyarakat dalam proses menuju pemekaran kabupaten ini. Mungkinkah kabupaten impian “Renah Indojati” akan jadi kenyataan dalam waktu dekat (2014)? Entahlah! Wallahu a’lam bisshawab.

Rabu, 22 Juni 2011

Ronjok Budaya Khas Masyarakat Tapan

Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP

“Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya,” begitu bunyi pepatah mengatakan. Setiap komunitas, kelompok masyarakat, memiliki ciri khas, kebiasaan dan kebudayaan masing-masing. Berawal dari hanya perilaku individu, kemudian ditiru dan dilakukan oleh banyak orang, sehingga menjadi perilaku kolektif sosial. Karena perilaku itu dianggap memiliki nilai oleh suatu komunitas (kelompok masyarakat) kemudian berkembang menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang sudah berjalan dan berproses dalam jangka waktu yang sangat panjang, lalu menjadi budaya sekali gus sebagai identitas dari suatu kelompok sosial.

Ada yang unik dan menarik dari kebiasaan yang sudah membudaya dalam masyarakat Tapan, yang dikenal dengan “nganta ronjok.” Yang dimaksud dengan ronjok disini adalah beberapa jenis makanan dan atau penganan lainnya yang dimasukkan dalam rantang. Ronjok ini dipersiapkan oleh para wanita yang bersuami diperuntukkan bagi mertua atau pihak penganten perempuan (anak daro) untuk mertua dan keluarga dekat penganten laki-laki (marapulai). Kecuali itu, ronjok ini juga diberikan pihak anak daro untuk anggota keluarga atau teman yang memberikan hadiah perkawinan (kado) berupa (cincin) emas, lazimnya minimal seberat setengah emas.

Memberikan hadiah cincin emas ini, di Tapan populer dengan istilah “nyorong”. Disebut nyorong, karena pada hari tertentu dalam ritual seremonial pesta perkawinan dilakukan penyerahan kado(hadiah) tersebut dengan cara menyorongkan langsung kepada anak daro. Nyorong ini dapat dilakukan atas permintaan pihak penganten dan dapat pula atas penawaran sang pemberi. Setelah acara “nyorong,” pihak penganten memberi balasan dengan mengantar ronjok kepada yang pihak pemberi hadiah. Ada beberapa momen dilakukan “nganta ronjok” ini, diantaranya pada satu hari menjelang peringatan Maulid Nabi, menjelang hari raya Idul Fithri bagi wanita bersuami, saat pesta perkawinan dan pada waktu pesta sunatan.

Ada beberapa nilai yang dapat dipetik dari kebiasaan atau budaya ronjok ini. Beberapa diantaranya seperti nilai silaturrahim. Ronjok dapat dikatakan sebagai “lambang” jalinan silaturrahim (kasih sayang antar sesama). Memberi atau menerima ronjok dapat dimaknai sebagai wahana memupuk rasa saling perahatian (peduli) dan saling menghargai, yang pada gilirannya akan mempererat tali silaturrahim. Selain itu, memberi dan menerima ronjok mengandung nilai kerelaan berkorban untuk kepentingan orang lain dan sebagai wujud sikap pandai berterima kasih. Nilai-nilai seperti ini memiliki arti penting dalam pergaulan dan interaksi sosial bagi anggota masyarakat.

Perilaku yang dianggap baik, mengandung nilai-nilai yang sudah menjadi kebiasaan dan mebudaya dalam tatanan masyarakat apabila tidak dilaksanakan, oleh subjeknya dirasakan sebagai suatu pelanggaran. Ada perasaan bersalah dalam diri subjek atas pelanggaran tersebut. Sebagaimana pelanggaran atas tatanan kehidupan masyarakat, sanksi (hukuman) sosialnya adalah rasa malu, sebuah sanksi yang cukup berat untuk dipikul. Karena itulah kebiasaan seperti mengantar ronjok dirasakan sebagai keharusan. Ini adalah konsekwensi logis dalam kehidupan bermasyarakat. Dan ini pulalah sisi kelemahan dari suatu kebiasaan, termasuk budaya mengantar ronjok. Pada saatnya datang, suka atau tak suka, ada ataupun tidak, mesti diadakan.

Karenanya, potensi keretakan rumah tangga bisa terjadi apabila karena ketiadaan, “kewajiban” ini (nganta ronjok) tak dapat dilaksanakan. Betapapun sisi negatif ini tidak cukup berarti ketimbang nilai-nilai positif yang dikandungnya. Akhirnya, terpulang kepada kedewasaan para pendukung suatu kebudayaan itulah yang dapat mengatasi sisi negatif agar kebudayaan itu sendiri tetap lestari.

Senin, 20 Juni 2011

Rangguk Kinchai Dimana Kini

Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP

Mengapa masyarakat Kerinci begitu senang disebut “uhang Kincai”? Salah satu alasannya adalah Kerinci kaya dengan keanekaragaman seni dan budaya yang benilai tinggi. Betapa tidak! Kerinci adalah salah satu dari sedikit negeri di nusantara ini yang memiliki aksara (tulisan) sendiri, yaitu tulisan  Incung, meskipun sayangnya saat ini, uhang Kincai sendiri tidak lagi menguasai tulisan ini. Kecuali itu, ranah Kerinci dikenal sebagai daerah yang subur, kaya dengan sumebr daya alam serta memiliki keindahan alam yang mempesona.
Diantara seni budaya yang sangat populer tempo dulu adalah rangguk. Rangguk adalah sejenis budaya yang memadukan seni suara (vokal), seni tari (gerak) dan seni musik (instrumental). Para penari, sambil menari bersama-sama mendendangkan ­tale (lagu khas Kerinci)dengan diiringi dendang (instrumental) rebana. Beberapa buah rebana besar didebik beberapa “penggendang” dan rebana kecil didebik para penari. Itulah seni tari yang disebut ranggguk.

Nostalgia Masa lalu

Menjelang dekade 80-an, seni tari rangguk sangat populer di kalangan masyarakat Kerinci. Media hiburan moderen seperti organ tunggal, band dan televisi belum menerpa masyarakat Kerinci. Karenanya, Rangguk merupakan salah satu seni yang dapat memenuhi dahaga masyarakat yang haus hiburan.
Kala itu, hampir setiap sudut kampung terdapat kelompok gadis-gadis kecil melenggang-lenggok indah berpadu dengan lantunan tale yang merdu serta  diiringan tingkah gendang rebana yang bertalu-talu. Hampir setiap sore(ba'da azhar) terdengar suara gendang (rebana)  bertalu-talu memenuhi angkasa kampung. Rangguk menjadi tontonan masyarakat yang sangat menghibur . Para pemuda sangat rajin mengadakan vestival tarian cantik ini.
Yang sangat membanggakan, pada akhir tahun 60-an kelompok rangguk desa Kumun sangat populer seantero propinsi Jambi. Setiap Sabtu sore, grup rangguk ini mengudara  melalui RRI stasiun Jambi. Tentu saja, acara mingguan RRI Jambi ini dinanti-nantikan masyarakat Kerinci. Di hari yang lain, seniman “musik tunggal” Mungkin dari Lolo juga mengudara di stasiun yang sama. Itulah sekelumit nostalgia (kenangan) tempo dulu, yang kini sangat dirindukan.
Seni tari rangguk ini, tidak hanya menarik bagi masyarakat Kerinci. Seorang teman asal kabupaten tetangga, mengungkapkan decak kagumnya dengan tarian tradisional kerinci yang satu ini, yang disaksikannya ketika berwisata ke Air Hangat Semurup. Seorang Guru SD, yang juga,  di daerah tetangga, mantan siswa SPG Sungai Penuh memberikan ekstrakurikuler dengan melatih tarian rangguk. Betapapun tarian ini, menurut Bu Guru ini,  amat digemari oleh masyarakat setempat. Namun “kecemburuan” segelintir  orang, menjadikannya tak nyaman untuk melanjutkannya.

Dimana Kini

Lengkingan suara dan lenggang-lenggok gadis-gadis cilik yang diiringi tingkah gendang rebana yang bertalu-talu kini tak pernah terdengar lagi, sperti dulu. Kerinduan untuk menikmati rangguk Kincai kini takkan dapat terobati. Rangguk Kincai, dimanakah kini, ia berada? Entahlah! Yang jelas, tarian rangguk tak pernah hadir lagi ditengah masyarakat pendukungnya. Ia talah hilang, sirna diterpa budaya (seni) moderen. Kalaupun ada, tarian muncul saat tertentu. Ia tak lagi hidup, berkembang dan menjadi tontonan keseharian masyarakat. Tarian Rangguk, kini tinggal kenangan yang hanya indah buat dikenang. Ia tak dapat lagi disaksikan. Kebosanan atas seni moderen tak mendapatkan alternatif saluran.
Sayang memang! Di tengah-tengah budaya tradisional mempunyai “nilai jual” yang tinggi, terutama bagi turis manca negara, justru seni tradisional yang satu ini raib entah kemana. Fenomena terkini menunjukkan bahwa seni tradisional merupakan “modal” utama untuk mengundang kunjungan turis, baik  lokal maupun manca negara. Disadari, industri pariwisata merupakan bidang usaha yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Kerinci sangat berkepentingan di bidang ini.
Masih ada usaha yang mungkin  dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali seni tradisional Kerinci yang sudah hilang. Lembaga pendidikan dapat memberikan andil mengembangkan seni budaya  Kerinci, melalui kegiatan ekstrakurikulernya. Selain itu, diharapkan akan muncul banyak seniman daerah yang peduli seni tradisonal dengan mendirikan sanggar seni. Semoga!

Sabtu, 18 Juni 2011

"Tale Haji" Nynyian Rakyat Kerinci Yang Unik


Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP

Tale adalah salah satu kesenian (lagu tradisional) masyarakat Kerinci. Lagu Kerinci yang kini bisa dinikmati melalui kaset (disk), baik audio maupun visual, umumnya adalah tale yang sudah diimprovisasi dengan jenis irama musik moderen, yang kental dengan nuansa  dangdut atau melayu.  Tale adalah nyanyian rakyat (volk song) yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Biasanya, lirik tale berbentuk pantun yang mempunyai sampiran dan isi. Hampir semua warga Kerinci bisa “bertale” karena ia tercipta dan dilagukan oleh masyarakat itu sendiri.  Tale adalah bagian dari hidup masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, meskipun ia warga Kerinci, belum tentu bisa “berlagu” Kerinci.
                Hingga tahun 70-an tale masih sering didendangkan masyarakat ketika melakukan “ande” (bekerja bersama-sama), terutama tatkala menuai padi di sawah. Biasanya kelompok ande (asli bahasa Belui) ini memiliki bendera kelompok masing-masing. Tak heran kalau kita bisa menemukan bendera berkibar di tengah sawah. Saat ande menuai padi itulah tale ini sering didendangkan bersama-sama. Mereka membagi kelompok menjadi dua bagian. Terjadilah balas-membalas pantun di tengah sawah, betapaun teriknya matahari. Coba simak syair  tale berikut ini :

            Sapo mbuh mandi sumu kamai
                (Siapa mau mandi di sumur kami)
Sumu kamai lah ditambak ludak
(Sumur kami ditimbun luluk)
Sapo mbuh balik kumah kamai
(Siapa mau balik ke rumah kami)
Kumah kamai lah sigalo idak
(Di rumah kami segala tak ada)

Kamai mbuh mandi sumu kayo
(Kami mau mandi di sumur kamu)
Sumu kayo lah ayi lah nyo enang
(Sumur kamu airnya bening)
Kamai mbuh bali kumah kayo
(Kami mau balik ke rumah kamu)
Kumuh kayo ati kamai snang
(Di rumah kamu hati kami senang)

Mangku k’han sambi dimulicak   
(Mencangkul (di tanah) kering sambil merancah)
            Mano bulih dimunanam padai
            (Mana mungkin batanam padi)
            Lah muskan lah sigalo idak
            (Sudah miskin, segala tak ada)
            Mano bulih dimaksut sampai
            (Mana mungkin maksud akan sampai)
                           
Dibusiang di tengah paneh
(Menyiang (padi) di tengah panas)
Manuai di tengah sawah
(Menuai di tengah sawah)
Nagadat idup jangan lah cameh
(Menantang hidup jangan lah cemas)
Kapado Tuhan kito munyarah
(Kepada Tuhan kita berserah (diri).

Selain ketika ande, tale bersama-sama dengan berbalas pantun, juga sering terjadi ketika menumbuk padi di lesung. Hal ini bisa terjadi bila terdapat dua lesung atau lebih dengan masing-masing lesung menumbuk tiga atau lebih penumbuk padi. Wow, betapa indahnya tingkah alu (kayu penumbuk padi) mengiringi irama tale dengan cara berbalas pantun. Malam hari, irama suling babmbu sering melantunkan  irama tale, menghiasi malam, memecah kesunyian kampung yang gelap gulita, tanpa sinar lampu listrik. Begitulah budaya tale ditengah-tengah masyarakat pendukungnya. Masyarakat Belui, Semurup, Siulak, Rawang dan Sungai Penuh dikenal sebagai masyarakat banyak melahirkan irama tale.

Budaya Islami

Dalam percakapan dengan penulis (1979) K.H Usman Ibrahim Depati, sesepuh masyarakat Belui menyatakan bahwa kebudayaan Kerinci banyak mengandung konsep dan makna islami. Menurutnya, kata “tale” berasal dari kata “tahlil” yang berarti mentauhidkan Tuhan (Allah). Ditambahkannya lagi, kata “hu ala” atau “alaahu ala”  yang lazim diselipkan dalam sampiran dan isi pantun dalam tale, terambil dari kata “hu Allah” dan “Allahu ta’ala” yang berarti  Dia Allah dan Tuhan yang Maha Tinggi. Begitu pula dengan budaya sike berasal dari kata “zikir” yang berati ingat kepada Allah Swt. Rebana, alat instrumental yang digunakan dalam sike dan rangguk, itupun berasal dari kata “rabbana” yang berti seruan “hai Tuhan kami!.” Ini berarti seni budaya Kerinci banyak yang bernuansa (bernilai ) agama (religius).
Ibrahim juga menyatakan bahwa konsep-konsep islami dalam budaya Kerinci ini, merupakan bukti metode dakwah islam pada awal kedatangannya ke daerah Kerinci juga dilakukan dengan pendekatan seni budaya, seperti yang dilakukan wali songo (wali sembilan) ketika mengembangkan ajaran Islam di Jawa. Metode ini ternyata efektif karena dilakukan denga cara persuasif, terbukti dengan hampir seratus persen masyarakat Kerinci pemeluk agama Islam. 
Metode dakwah dengan cara bijaksana ini ternyata cukup efektif "membersihkan"    kesenian (budaya) daerah dari nilai yang dianggap mengandung unsur-unsur "syirik," dan bertentangan nilai ajaran Islam. Sebutlah seperti tari Asek dan tari Rantak Kudo, dulunya konon, mengandung unsur pemujaan terhadap kekuatan gaib (dewa dan roh para leluhur). Betapapun hingga kini, tari Asek (Siulak) dan tarian Rantak Kudo (Rawang) masih mengandung kekuatan mistik (para penarinya bisa kesurupan, tak sadarkan diri), namun  sudah bersih dari nilai-nilai yang dianggap mengandung unsur-unsur syirik. Kedua tarian itu kini, murni mengandung nilai-nilai seni dan budaya.

Tale Haji

Kesenian tradisional yang cukup unik di bumi Sakti Alam Kerinci adalah tale joi/jai (tale Haji). Tale Haji adalah tale yang dilakukan untuk melepas keluarga atau anggota masyarakat yang akan bepergian naik Haji. Hampir setiap malam, kita akan mendengarkan tale jai memenuhi angkasa melalui corong loadspeaker, hingga tengah malam pada bulan menjelang musim haji. Ini merupakan bagian dari seremonial pelepasan pemberangkatan calon haji.
Kita boleh saja pergi ke mancanegara manapun di dunia ini, tanpa setahu sanak keluarga dan masyarakat desa. Tetapi tidak demikian halnya dengan kepergian ke Makkah Almukarramah untuk menunaikan ibadah haji. Dimulai dengan kenduri, untuk memberitahukan secara resmi kepada keluarga dan tetangga, tentang rencana keberangkatan naik haji. Dari sinilah mulainya tale haji itu. Kemudian giliran sanak saudara, yang secara bergantian mengundang kita untuk ditalekan. Begitulah seterusnya sampai menjelang keberangkatan. Pada hari keberangkatan, masyarakat akan tumpah ruah memenuhi masjid (upacara pelepasan secara resmi) dan kemudian mengantar dengan berjalan kaki, lagi-lagi sambil bertale) sampai ke tempat pemberangkatan. Barang kali, “syiar”nya seremonial ini cukup memberikan motivasi bagi warga untuk menunaikan ibadah haji. Tidak heran kalau masyarakat Kerinci termasuk paling atas dalam hal jumlah peninat naik haji.
Semua jenis kesenian, seperti itu juga tale atau lagu, merupakan wahana yang efektif untuk mengungkapkan perasaan. Kegalauan, kesedihan, dan kerinduan begitu pula dengan perasaan senang, gembira dan bahagia dapat ditumpahkan melalui seni. Demikian pula halnya dengan tale haji. Melelui tale ini, semua perasaan dan harapan diungkpkan terhadap calon Haji. Sewaktu masih menggunakan kapal laut, masyarakat tau benar dengan ganasnya ombak laut Silung(Selan). Karenanya, isi pesan yang mengandung doa dan harapan untuk tetap waspada agar selamat dalam ancaman bahaya ini memdominasi dalam isi tale haji. Tak lupa pula disampaikan harapan agar tidak terlena di Mekkah Almukarramah, sehingga lupa pulang ke kampung halaman.