Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP
Tale adalah salah satu kesenian (lagu tradisional) masyarakat Kerinci. Lagu Kerinci yang kini bisa dinikmati melalui kaset (disk), baik audio maupun visual, umumnya adalah tale yang sudah diimprovisasi dengan jenis irama musik moderen, yang kental dengan nuansa dangdut atau melayu. Tale adalah nyanyian rakyat (volk song) yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Biasanya, lirik tale berbentuk pantun yang mempunyai sampiran dan isi. Hampir semua warga Kerinci bisa “bertale” karena ia tercipta dan dilagukan oleh masyarakat itu sendiri. Tale adalah bagian dari hidup masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, meskipun ia warga Kerinci, belum tentu bisa “berlagu” Kerinci.
Hingga tahun 70-an tale masih sering didendangkan masyarakat ketika melakukan “ande” (bekerja bersama-sama), terutama tatkala menuai padi di sawah. Biasanya kelompok ande (asli bahasa Belui) ini memiliki bendera kelompok masing-masing. Tak heran kalau kita bisa menemukan bendera berkibar di tengah sawah. Saat ande menuai padi itulah tale ini sering didendangkan bersama-sama. Mereka membagi kelompok menjadi dua bagian. Terjadilah balas-membalas pantun di tengah sawah, betapaun teriknya matahari. Coba simak syair tale berikut ini :
Sapo mbuh mandi sumu kamai
(Siapa mau mandi di sumur kami)
Sumu kamai lah ditambak ludak
(Sumur kami ditimbun luluk)
Sapo mbuh balik kumah kamai
(Siapa mau balik ke rumah kami)
Kumah kamai lah sigalo idak
(Di rumah kami segala tak ada)
Kamai mbuh mandi sumu kayo
(Kami mau mandi di sumur kamu)
Sumu kayo lah ayi lah nyo enang
(Sumur kamu airnya bening)
Kamai mbuh bali kumah kayo
(Kami mau balik ke rumah kamu)
Kumuh kayo ati kamai snang
(Di rumah kamu hati kami senang)
Mangku k’han sambi dimulicak
(Mencangkul (di tanah) kering sambil merancah)
Mano bulih dimunanam padai
(Mana mungkin batanam padi)
Lah muskan lah sigalo idak
(Sudah miskin, segala tak ada)
Mano bulih dimaksut sampai
(Mana mungkin maksud akan sampai)
Dibusiang di tengah paneh
(Menyiang (padi) di tengah panas)
Manuai di tengah sawah
(Menuai di tengah sawah)
Nagadat idup jangan lah cameh
(Menantang hidup jangan lah cemas)
Kapado Tuhan kito munyarah
(Kepada Tuhan kita berserah (diri).
Selain ketika ande, tale bersama-sama dengan berbalas pantun, juga sering terjadi ketika menumbuk padi di lesung. Hal ini bisa terjadi bila terdapat dua lesung atau lebih dengan masing-masing lesung menumbuk tiga atau lebih penumbuk padi. Wow, betapa indahnya tingkah alu (kayu penumbuk padi) mengiringi irama tale dengan cara berbalas pantun. Malam hari, irama suling babmbu sering melantunkan irama tale, menghiasi malam, memecah kesunyian kampung yang gelap gulita, tanpa sinar lampu listrik. Begitulah budaya tale ditengah-tengah masyarakat pendukungnya. Masyarakat Belui, Semurup, Siulak, Rawang dan Sungai Penuh dikenal sebagai masyarakat banyak melahirkan irama tale.
Budaya Islami
Dalam percakapan dengan penulis (1979) K.H Usman Ibrahim Depati, sesepuh masyarakat Belui menyatakan bahwa kebudayaan Kerinci banyak mengandung konsep dan makna islami. Menurutnya, kata “tale” berasal dari kata “tahlil” yang berarti mentauhidkan Tuhan (Allah). Ditambahkannya lagi, kata “hu ala” atau “alaahu ala” yang lazim diselipkan dalam sampiran dan isi pantun dalam tale, terambil dari kata “hu Allah” dan “Allahu ta’ala” yang berarti Dia Allah dan Tuhan yang Maha Tinggi. Begitu pula dengan budaya sike berasal dari kata “zikir” yang berati ingat kepada Allah Swt. Rebana, alat instrumental yang digunakan dalam sike dan rangguk, itupun berasal dari kata “rabbana” yang berti seruan “hai Tuhan kami!.” Ini berarti seni budaya Kerinci banyak yang bernuansa (bernilai ) agama (religius).
Ibrahim juga menyatakan bahwa konsep-konsep islami dalam budaya Kerinci ini, merupakan bukti metode dakwah islam pada awal kedatangannya ke daerah Kerinci juga dilakukan dengan pendekatan seni budaya, seperti yang dilakukan wali songo (wali sembilan) ketika mengembangkan ajaran Islam di Jawa. Metode ini ternyata efektif karena dilakukan denga cara persuasif, terbukti dengan hampir seratus persen masyarakat Kerinci pemeluk agama Islam.
Metode dakwah dengan cara bijaksana ini ternyata cukup efektif "membersihkan" kesenian (budaya) daerah dari nilai yang dianggap mengandung unsur-unsur "syirik," dan bertentangan nilai ajaran Islam. Sebutlah seperti tari Asek dan tari Rantak Kudo, dulunya konon, mengandung unsur pemujaan terhadap kekuatan gaib (dewa dan roh para leluhur). Betapapun hingga kini, tari Asek (Siulak) dan tarian Rantak Kudo (Rawang) masih mengandung kekuatan mistik (para penarinya bisa kesurupan, tak sadarkan diri), namun sudah bersih dari nilai-nilai yang dianggap mengandung unsur-unsur syirik. Kedua tarian itu kini, murni mengandung nilai-nilai seni dan budaya.
Tale Haji
Kesenian tradisional yang cukup unik di bumi Sakti Alam Kerinci adalah tale joi/jai (tale Haji). Tale Haji adalah tale yang dilakukan untuk melepas keluarga atau anggota masyarakat yang akan bepergian naik Haji. Hampir setiap malam, kita akan mendengarkan tale jai memenuhi angkasa melalui corong loadspeaker, hingga tengah malam pada bulan menjelang musim haji. Ini merupakan bagian dari seremonial pelepasan pemberangkatan calon haji.
Kita boleh saja pergi ke mancanegara manapun di dunia ini, tanpa setahu sanak keluarga dan masyarakat desa. Tetapi tidak demikian halnya dengan kepergian ke Makkah Almukarramah untuk menunaikan ibadah haji. Dimulai dengan kenduri, untuk memberitahukan secara resmi kepada keluarga dan tetangga, tentang rencana keberangkatan naik haji. Dari sinilah mulainya tale haji itu. Kemudian giliran sanak saudara, yang secara bergantian mengundang kita untuk ditalekan. Begitulah seterusnya sampai menjelang keberangkatan. Pada hari keberangkatan, masyarakat akan tumpah ruah memenuhi masjid (upacara pelepasan secara resmi) dan kemudian mengantar dengan berjalan kaki, lagi-lagi sambil bertale) sampai ke tempat pemberangkatan. Barang kali, “syiar”nya seremonial ini cukup memberikan motivasi bagi warga untuk menunaikan ibadah haji. Tidak heran kalau masyarakat Kerinci termasuk paling atas dalam hal jumlah peninat naik haji.
Semua jenis kesenian, seperti itu juga tale atau lagu, merupakan wahana yang efektif untuk mengungkapkan perasaan. Kegalauan, kesedihan, dan kerinduan begitu pula dengan perasaan senang, gembira dan bahagia dapat ditumpahkan melalui seni. Demikian pula halnya dengan tale haji. Melelui tale ini, semua perasaan dan harapan diungkpkan terhadap calon Haji. Sewaktu masih menggunakan kapal laut, masyarakat tau benar dengan ganasnya ombak laut Silung(Selan). Karenanya, isi pesan yang mengandung doa dan harapan untuk tetap waspada agar selamat dalam ancaman bahaya ini memdominasi dalam isi tale haji. Tak lupa pula disampaikan harapan agar tidak terlena di Mekkah Almukarramah, sehingga lupa pulang ke kampung halaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar