Wellcome in my blog : Thank's for visiting

Minggu, 24 Juli 2011

Tradisi Mandi Balimau : Antara Masyarakat Kerinci dan Pesisir Selatan

Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP
Berbeda daerah tempat tinggal tidak selalu harus berarti berbeda tradisi atau budaya. Ada tradisi atau unsur-unsur tertentu dari budaya, yang mirip atau bahkan mungkin sama sekali tak berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini sangat dimungkinkan, karana adanya proses akulturasi budaya atau mungkin juga dikarenakan adanya persamaan perjalanan sejarah perkembangan masyarakat pendukung budaya kedua daerah tersebut. Kecuali itu, daerah-daerah yang berada di daerah perbatasan, karena kedekatan geografisnya, sangat memungkinkan terjadinya proses akulturasi budaya. Dalam konteks zaman sekarang, dukungan perkembangan ilmu dan teknologi (iptek) utamanya bidang transportasi, informasi dan komunikasi sangat mendorong terjadinya proses akulturasi budaya ini. Masyarakat tidak lagi seperti “katak di bawah tempurung,” tetapi sudah sangat melek budaya. Interaksi social, komunikasi dan tukar-menukar informasi dapat dilakukan dalam hitungan detik tanpa hambatan yang berarti dari sudut ruang dan waktu.
Tradisi Mandi Balimau yang terdapat dalam masyarakat Kerinci dan Pesisir Selatan dalam menyongsong bulan Ramadhan adalah contoh nyata uraian di atas. Daerahnya yang berada di perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Barat, menjadikan masyarakat kedua daerah ini sudah menjalin interaksi sodial sejak waktu lama. Kecuali itu, Persamaan historis dimana kedua daarah ini pernah bersama dalam naungan administrasi pemerintahan yang sama, kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (PSK) dalam kurun waktu 50-an, cukup kuat membangun keterikatan emosional masyarakat kedua daerah ini. Faktor-faktor inilah yang mendukung terbentuk tradisi ataupun budaya yang sama, seperti halnya tradisi mandi balimau.

Barangkali inilah salah satu pertimbangan, mengapa sewaktu masih dipimpin Bupati Fauzi Siin, secara resmi Pemkab Kerinci bersama Pemkab Pesisir Selatan setiap tahunnya, menjelang bulan Ramadhan, secara seremonial, melakukan acara mandi balimau bersama, di Muara Sakai, kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatan. Muara Sakai merupakan pusat pemerintahan kerajaan Inderapura tempo dulu. Sayangnya, acara yang menjadi media silaturrahim kedua daerah ini tidak dilanjutkan Murasman, Bupati Kerinci saat ini.
Tradisi Mandi Balimau, berkaitan erat dengan kedatangan bulan Suci Ramadhan. Ini berarti juga ada kaitannya dengan Islam. Islam lahir dan hadir di tengah-tengah masyarakat bukan dalam kondisi umat yang hampa budaya. Kedatangannya meberikan pencerahan bagi budaya itu sendiri. Budaya yang mungkin berbau “syirik,” yang bertentangan dengan nilai-nilai aqidah Islam “diluruskan “ sehingga bersih dari niali-nilai yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Nilai-nilai Islam juga menginspirasi lahirnya kebiasaan, tradisi dan budaya baru, yang sejalan dengan nilai Islam. Islam yang datang dengan pendekatan persuasive, menyebabkan tumbuh-suburnya budaya Islami, meskipun mungkin secara eksplisit tidak diatur dalam ajaran atau syariat Islam (Alquran dan Hadits). Budaya Islami, betapapun kadang-kadang dipandang bid’ah oleh sebagian ulama, namun bagi kaum muslimin, ini jauh berarti ketimbang budaya sekularis.

Namun dalam pelaksanaannya, ada kerisauan dari kalangan sebagian ulama, kalau-kalau ritual ini diselewengkan menjadi seremonial yang rawan perbuatan maksiat. Agaknya, ini merupakan catatan penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat (umat Islam), utamanya di kalangan muda. Dalam konteks tradisi atau budaya Mandi Balimau ini, yang perlu dilakukan adalah menjaga agar ritual balimau dilakukan dengan memperhatikan sungguh-sungguh nilai ajaran Islam. Sebutlah misalnya : Tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan (tempat perempuan jauh dari kemungkinan intipan laki-laki dan sebaliknya); menutup aurat; tidak dijadikan ajang pacaran dll. Hal ini penting, agar perbuatan (kebiasaan) yang dilakukan dengan niat baik (suci) justru ternoda oleh cara melakukannya yang tidak baik (bertentangan dengan ajaran Islam).
Budaya Mandi Balimau, dapat dijumpai dalam tradisi masyarakat Minangkabau, Riau dan Kerinci, yang dilakukan sehari menjelang masuknya bulan Ramadhan. Balimau merupakan ritual masyarakat yang dimaksudkan sebagai lambang penyucian diri, yang diawali dengan pembersihan fisik dengan mandi balimau, yang disempurnakan dengan pembersihan bathin (jiwa), dengan puasa Ramadhan. Balimau dilakukan masyarakat dengan menggunakan kasai, yang terbuat dari tepung beras ketan yang dicampur dengan jeruk nipis, daun pandan yang diaduk dengan air lalu disiram ke tubuh ketika mandi. Ritual ini biasanya, dilakukan bersama-sama di tempat pemandian umum (dulu di sungai, dalam arti tepian khusus untuk laki-laki atau perempuan) atau boleh juga dilakukan di rumah.

Karena memang sudah menjadi budaya, “kurang pas” rasanya kalau menyambut bulan suci Ramadhan tanpa mandi balimau, meskipun hukumnya bukan “wajib” bagi seorang muslim. Dan tradisi balimau yang dilakukan bersama-sama ini dapat disebut sebagai ungkapan rasa gembira dan syukur karena dapat berjumpa kembali dengan bulan yang penuh rahmah (rahmat), maghfirah (ampunan) dan itqun minannar (terhindar dari api neraka) ini.
Tradisi balimau ini sangat popular dikalangan anak muda. Ada tempat tertentu yang dipandang “bagus” untuk melaksanakan ritual budaya ini. Di Tapan, Pesisir Selatan, umumnya anak muda lebih senang malakukannya di sungai Muara Sako. Tempat ini memang sudah menjadi salah tempat wisata bagi turis-turis local di Pesisir Selatan. Kecuali itu, di Muara Sako juga terdapat tempat wisata kuliner. Selain makanan khas Minang lainnya, juga terdapat dendeng batokok dan empek-empek yang jarang ada di tempat lain.

Selasa, 12 Juli 2011

Hikmah Ibadah Puasa Ramadhan

Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP


“Marhaban Ya Ramadhan,” inilah kata yang pantas terucap dari mulut insan muslim, sebagai ungkapan rasa syukurnya atas nikmat umur panjang yang diberikan Allah Swt sehingga dapat bertemu lagi dengan bulan suci tahun ini. Di bulan ini, kaum muslim yang merasa beriman, terpanggil untuk melaksanakan ibadah puasa yang diwajibkan kepadanya sebagai mana firman Allah dalam Qs. Albaqarah (2 :183-185) : “Hai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa.” QS (2:183). Puasa (shaum) menurut istilah berarti “menahan.” Segala aktivitas yang bersifat menahan bisa disebut puasa. Misalnya, seorang gadis yang menahan makan (diet) untuk membuat bentuk tubuhnya langsing dapat disebut puasa menurut istilah, tetapi tidak bisa disebut puasa menurut syariah. Jadi benar bila orang berkata : saya sedang puasa merokok, puasa ngopi dll. Puasa seperti ini, meskipun benar menurut istilah tapi jelas tidak bernilai ibadah.

Puasa yang bernilai ibadah adalah puasa yang dilaksanakan menurut syariah (hukum ibadah puasa itu sendiri), yaitu menahan diri dari segala sesuatu, yang menurut syariah, dapat membatalkan puasa mulai dari waktu Imsa’ hingga sesaat waktu berbuka (Maghrib). Dan puasa ini hendaklah dimulai dengan niat ikhlas karena Allah Swt. Ada memang rukhsah (keringanan) bagi orang-orang yang tak kuasa menjalankannya. Yang berhalangan tetap, sakit menahun misalnya, diperkenankan membayar fidyah(denda) yaitu memberi makan seorang miskin. Bagi yang sakit (bisa sembuh) dan dalam perjalanan dibolehkan mengkadha(mengganti) di hari-hari yang lain. Namun begitu, “…….bahwa puasa itulah yang lebih baik bagi kamu”(QS 2 :184). Artinya, meskipun sakit, ataupun dalam perjalanan, seandainya kita bisa berpuasa sebaiknya kita berpuasa ketimbang mengqadhakannya di hari yang lain, meskipun ini dibolehkan syara’.

Menurut Imam Al Ghazali ada 3 tingkatan orang yang berpuasa yaitu : Puasa Awam, puasa khusus, puasa khusus bil khusus. Puasa Awam dilakukan oleh orang yang hanya berpuasa secara fisik belaka, menahan lapar dan haus. Tapi, jiwanya tidak berpuasa. Artinya, sifat-sifat yang kurang baik dalam dirinya tidak dikendalikannya, perbuatan yang tak elok masih dilakukannya. Inilah puasa kebanyakan orang. Puasa khusus adalah seperti puasa yang dilakukan oleh para sabat dan tabi’in. Mereka benar-benar sempurna melaksanakan ibadah puasa. Lahir bathin mereka benar-benar tekendali, terhindar dari apa yang disebut dengan kesalahan, kealpaan apalagi dosa. Puasa khusus bil khusus adalah puasa para rasul dan para nabi.

Puasa tidak hanya mengandung hikmah bagi pembentukan kepribadian umat sehingga menjadi kepribadian orang yang bertaqwa, tetapi juga besar manfaatnya bagi kesehatan. “Puasalah kamu agar kamu sehat,” begitu pesan Nabi Muhammad Saw.(Alhadits). Benar! Betapa banyak penyakit yang bersumber dari makanan, apalagi kalau disantap secara berlebihan. “Makanlah kamu sekedar menyangga tulang punggungmu,” kata Rasul. Artinya, makan tidak dimaksudkan untuk berpuas-puasan, atau untuk melepas selera, tetapi cukup untuk menopang energimu sehingga mampu untuk bekerja. Perut kita mesti dibagi tiga bagian : sepertiganya untuk makan, sepertiganya untuk minuman (air)dan sepertiganya lagi sisakan buat udara. Bukankah makan berlebihan itu bisa menimbulkan rasa kantuk?

Hikmah lain yang dapat kita raih di bulan Ramadhan adalah rahmah pada sepuluh malam pertama dan maghfirah (ampunan) pada sepuluh malam kedua serta itqun minannar (terhindar dari azab api neraka) sepuluh malam terakhir bulan suci ini. Masih terlalu banyak hikmahnya yang lain lagi, takkan cukup halaman ini kalau diuraikan seluruhnya hikmah bulan Ramadhan ini.

Nah, yang perlu kita lakukan adalah berupaya sejauh kemampuan kita untuk mencapai tingkat sesempuna mungkin yang dapat kita lakukan. Selebihnya kita berserah diri kepada Allah Swt untuk menilainya. Soal “buah"nya ibadah puasa ini sudah jelas. “Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa.”(QS. 2:185) Predikat “Taqwa” merupakan tingkat tertinggi di sisi Allah Swt. “Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa diantara kamu.” (QS ). Selain itu, Rasulullah menjanjikan penghapusan dosa-dosa yang telah lampau bagi orang yang benar-benar menjalankan Ibadah puasa. Untuk fisik juga ada : Puasalah kamu agar sehat (Al hadits). Ini sudah terbukti menurut kesehatan, lho! Selamat menjalankan ibadah puasa!

Senin, 04 Juli 2011

Kabupaten "Renah Indojati" Mungkinkah akan terwujud Dalam Waktu Dekat?

Oleh : Mukhnizar Sabri, S. IP

Adanya keinginan kuat sebagian masyarakat kabupaten Pesisir Selatan untuk memekarkan daerah ini menjadi beberapa kabupaten memang cukup realistik. Wilayahnya yang luas, perkembangan masyarakatnya yang cukup tinggi, dan tipologi wilayah ini yang memanjang dari utara keselatan merupakan alasan yang cukup kuat untuk pemekaran. Dan alasan ini pulalah yang menjadi dasar kuatnya keinginan masyarakat, utamanya di bagian selatan, untuk menjadikan wilayah eks kecamatan Pancung Soal menjadi kabupaten baru. Presidium Pemekaran sudah lama terbentuk, bahkan warga wilayah ini sudah menyiapkan sebuah nama calon kabupaten baru : “Renah Indojati.”

Kuatnya keinginan warga bagian selatan ini, lebih-lebih dalam satu dasa warsa terakhir, dapat dilihat dari maraknya wacana ini di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya terbatas di kalangan elit politik belaka melainkan juga sudah merambah ke kalangan masyarakat bawah sehingga menjadi bahan obrolan lepas di lepau-lepau. Masyarakat percaya bahkan ada yang “haqqul yakin” pemekaran ini akan tembus dalam waktu dekat ini, menjelang tahun 2014. Mungkinkah?


Agar wacana ini tidak simpang siur, melebar liar kemana-mana, lebih-lebih lagi agar tidak hanya sekedar penghibur diri, atau sekedar harapan hampa bagi masyarakat, mari kita tengok beberapa realita yang ada saat ini. Ini perlu dilakukan agar tidak hanya menjadi impian kosong atau bahkan ilusi belaka. Mari kita coba “mangaji di ateh kitab,” dengan melihat berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebab, pemekaran daerah itu sendiri ditetapkan dengan undang-undang.

Dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa pembentukan daerah, termasuk pemekaran ditetapkan dengan undang-undang (pasal 4 ayat 1). Dalam undang-undang ini, juga diatur tentang syarat-syarat pembentukan daerah yang meliputi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah. Lebih lanjut tata cara pembentukan wilayah diatur secara rinci dalam PP No. 78 tahun 2007, sebagai pengganti PP No. 129 tahun 2000, tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dibandingkan dengan PP No. 129 tahun 2000, tampaknya persyaratan pembentukan daerah menurut PP No. 78 tahun 2007, baik pemekaran maupun penggabungan daerah, diatur lebih ketat. Misalnya, dalam PP 129 tahun 2000 pembentukan/pemekaran kabupaten paling sedikit 4 kecamatan dan batas minimal penyelenggaraan pemerintahan 5 tahun, sedangkan menurut PP. No. 78 tahun 2007 pembentukan kabupaten paling sedikit 5 kecamatan dan minimal masa penyelenggaraan pemerintahan 7 tahun.

Menurut PP No. 78 tahun 2007, Pembentukan daerah (pemekaran atau penggabungan daerah) dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat administratif, teknis dan fisik wilayah sbb : a. Syarat administrasi meliputi : 1. Keputusan DPRD Kab/Kota induk tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/kota; 2. Keputusan Bupati/Walikota tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota; 3. Keputusan DPRD Propinsi tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota; 4. Keputusan Gubernur tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota; dan 5. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri. (Pasal 4 ayat 2 point 2) b. Syarat teknis mencakup kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya dan politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan kemanan serta faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.(Pasal 6 ayat 1) c. Syarat fisik terdiri dari : Paling sedikit 5 kecamatan untuk kabupaten dan 4 kecamatan untuk Kota, calon ibu kota, sarana dan prasarana pemerintahan.(Pasal 7)


Selain dari syarat-syarat yang ditentukan seperti di atas juga ada prosedur dan tata cara yang harus ditempuh dalam proses pembentukan daerah kabupaten/kota. Mencermati PP No. 78 tahun 2007, BAB III pasal 16, tata cara pembentukan (pemekaran atau penggabungan) daerah memiliki prosedur yang cukup panjang. Mulai dari pengajuan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan Badan Perwakilan Desa/BPD (Keputusan Bamus Nagari di Sumatera Barat), Keputusan Forum Komunikasi Kelurahan (Nagari) sebagai bahan untuk meminta persetujuan Bupati dan DPRD yang dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati dan Keputusan DPRD. Kemudian dilanjutkan ke Provinsi (Gubernur dan DPRD Propinsi). Lebih lanjut diteruskan ke tingkat Menteri, kemudian meminta Persetujuan Presiden untuk diajukan sebagai Rancangan Undang-undang hingga kemmudian dibahas DPR bersama pemerintah untuk ditetapkan menjadi undang-undang.

Begitulah proses dan prosedur panjang yang harus ditempuh dalam memperjuangkan suatu daerah menjadi kabupaten baru. Tidak saja butuh waktu yang panjang melainkan juga butuh biaya yang tinggi serta energi yang ekstrakuat. Persyaratan politik tidak bisa datang dengan sendirinya, perlu perjuangan melalui pressure(tekanan) dan lobbi politik.


Dari uraian di atas, mari kita coba melihat realita eks Pancung Soal saat ini, dengan mengukur sejauh mana perjalanan proses pembentukan kabupaten “Renah Indojati” ini dengan indikator pencapaian pemenuhan syarat dan prosedur seperti yang diuraikan di atas.

Dari sisi persyaratan teknis barangkali tidak ada persolan serius. Namun dari sisi syarat administasi belum ada kejelasan sejauh mana perjuangan masyarakat yang diwakili Presidium Pemekaran kabupaten Pesisir Selatan. Persyaratan ini tentu membutuhkan perjuangan keras masyarakat dan kemauan politik (political will) pemerintah kabupaten (Bupati dan DPRD Kab. Pesisir Selatan).

Untuk persyaratan wilayah masih ada persoalan mendasar yang belum tuntas. Persayaratan 5 kecamatan, bila hanya menghandalkan wilayah eks Pancung soal jelas belum terpenuhi karena baru ada 3 kecamatan (Pancung Soal, Basa Ampek Balai, dan Lunang Silaut). Proses untuk menjadi 5 kecamatan jelas akan menempuh jalan dan waktu yang relatif cukup panjang. Pemekaran Nagari menjadi minimal 20 nagari untuk masing-masing kecamatan saja masih mendapatkan kendala yang cukup berat. Belum lagi jika harus memenuhi jangka watu minimal penyelenggraan pemerintahan minimal 7 tahun. Bayangkan jika langgkah ini yang harus ditempuh, paling tidak kita harus bersabar 10 hingga 15 tahun lagi.

Bagai mana dengan “merger” (gabung) dengan kecamatan di luar eks Pancung Soal? Inilah masalahnya. Masih terdapat pro-kontra yang cukup tajam di kalangan tokoh masyarakat. Meminjam istilah salah satu tokoh masyarakat eks Pancung Soal, Dt. Bustami Malin Palto (Alm), terdapat kelompok “Hamas” (kelompok “panatik” eks Pancung Soal) dan kelompok “Fattah” (yang akomodatif/kooperatif terhadap kecamatan di luar eks Pancung Soal). Perlu adanya upaya mencarikan titik temu dua paradigma yang bertolak belakang ini.

Jadi masih ada persoalan yang cukup serius yang harus “dibereskan” oleh tokoh masyarakat dalam proses menuju pemekaran kabupaten ini. Mungkinkah kabupaten impian “Renah Indojati” akan jadi kenyataan dalam waktu dekat (2014)? Entahlah! Wallahu a’lam bisshawab.